SEJARAH PERUMUSAN PANCASILA
SEBAGAI DASAR NEGARA
Paper ini bertujuan untuk memenuhi tugas dalam
perkuliahan Pendidikan Pancasila
Pengampu : IGB Wirya Agung S.Psi, MBA
NAMA KELOMPOK :
Ervina Apriliani (1311105012)
Fitri Maria Clarensia Sitanggang (1311105013)
Evangelita CT Nababan (1311105014)
Putri Anggun Lestari (1311105015)
Ni luh Cintya Febriani (1311105016)
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA
BALI
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME.
Karena Atas rahmat- Nya yang diberikan kepada kami, hingga kami dapat
menyelesaikan sebuah makalah yang mudah-mudahan
bermanfaat bagi para pembaca dengan judul “Sejarah Perumusan Pancasila Sebagai
Dasar Negara”. Makalah ini disusun guna
memenuhi tugas dari pengajar mata kuliah pendidikan kewarganegaraan dan
pancasila.
Kami sebagai penulis dari makalah ini
mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada dosen pengampu mata kuliah
Pendidikan Pancasila dan Kewargaegaraan Bapak IGB Wirya Agung, S.Psi, MBA dan pihak-pihak yang membantu kami dalam
Pencariaan & Pemberian ide tentang proses terbuat hingga terbentuknya
Makalah ini. Dan kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat dalam proses
pembelajaran di dalam kelas dan proses pembelajaraan di tahun pembelajaran
berikutnya.
Dan karena tiada gading yang tak retak, begitu
pula dengan makalah ini. Maka dari itulah kami mengharapkan kritik dan saran
yang di berikan kepada kami demi perbaikan makalah di waktu yang datang.
Bukit
Jimbaran, 17 Oktober 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Sejarah
telah mengungkapkan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, yang
memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbingnya dalam
mengejar kehidupan lahir batin yang makin baik, di dalam masyarakat Indonesia
yang adil dan makmur. Bahwasanya Pancasila yang telah diterima dan ditetapkan
sebagai dasar negara seperti tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa, yang telah diuji kebenaran,
kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan manapun juga yang
mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia. Menyadari bahwa untuk kelestarian
kemampuan dan kesaktian Pancasila itu, perlu diusahakan secara nyata dan terus
menerus penghayatan dan pengamamalan nilai-nilai luhur yang terkandung di
dalamnya oleh setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta
setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di
daerah.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana sejarah lahirnya pancasila?
2.
Siapa saja tokoh yang terlibat dalam perumusan pancasila?
3. Bagaimana perumusan pancasila?
1.3 Tujuan
1.
Mengetahui sejarah lahirnya.
2.
Mengetahui tokoh-tokoh yang terlibat dalam perumusan pancasila.
3.
Mengetahui perumusan pancasila
1.4 Batasan Masalah
1. Sejarah lahirnya
pancasila.
2. Tokoh-tokoh
yang terlibat dalam perumusan pancasila.
3. perumusan
pancasila
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah Lahirnya Pancasila
Awal kelahiran Pancasila sebagai
dasar negara dimulai pada saat terakhir pendudukan Fasisme Jepang di Indonesia
sekitar tahun 1942. Disaat tentara jepang di Asia tenggara sudah mulai terdesak
oleh tentara sekutu. Tahun 1943 kekuatan tentara jepang sudah mulai rapuh,
sehingga dibeberapa medan pertempuran pihak sekutu dapat memukul mundur tentara
jepang dengan sangat mudahnya. Dalam kondisi yang sangat terdesak seperti ini
menimbulkan jepang berubah sikap politiknya terhadap negeri-negeri yang
didudukinya, termasuk terhadap bangsa Indonesia.
Jepang melancarkan politik merangkul
bangsa Asia, dengan memberikan kemerdekaan kepad bangsa Birma, dan philipina
dengan maksud agar kedua negeri tersebut bersedi mendukung jepang dalam
menghadapi tentara sekutu. Dalam kesempatan yang baik ini dimanfaatkan oleh
tokoh-tokoh bangsa indonesia untuk mendesak pemerintah jepang juga memberikan
kemerdekaan kepada indonesia. Dan desakakn seperti ini ditanggapi secara serius
oleh pemerintah jepang Untuk mewujudkan kesediaanya itu, pada tanggal 7
september 1944 Perdana Menteri Koyso memberikan janji akan menghadiahkan
kemerdekaan Indonesia kelak di kemudian hari. Dan untuk mempersiapkan segala
sesuatunya yang berkaitan dengan janji tersebut, pemerintahan pendudukan jepang
di jawa membentuk sebuah badan yang diberi nama “DOKURITSU ZYUNBI
TYOSHAKAI” atau Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdekan Indonesia
(BPUPKI), yang beranggotkan 60 orang ditambah dengan 3 orang ketua yang salah
satunya ada tokoh yang mewakili jepang yang bernama Iti Bangase. Dan ketua muda
dijabat oleh Radjiman Wedyodiningrat dan Raden pandji Soeroso.
Pada tanggl 18 Mei 1945, bertepatan
dengan hari kelahiran tenno haika seorang kaisar jepang BPUPKI
dilantik oleh Letnan Jendral Kumakici Harada seorang tentara
keenam belas jepang. Dalam waktu yang relatif singkat
sekitar 2 bulan sejak tanggal 18 mei smpi 17 juli 1945 dengan dua kali masa
sidang telah dapat menyelesaiakan tugas berat. Yaitu berkenan dengan Dasr
Negara dan Bentuk Negara.
Dalam
setiap sidang bukannya berjalan dengan mulus-mulus saja tapi mereka juga mengalami
rintangan-rintangan dalam diskusinya (dapt dibaca dalam buku Risalah sidang)
namun dapat diselesaikan karena mereka berpegang teguh pada prinsip demi persatuan
dan kesatuan dengan jiwa yang amat besar demi kepentingan bangsa dan negara.
Perdebatan
terjadi antar dua golongan besar yaitu bung karno ,menyebutnya dengan golongan
Kebangsaan dan golongan islam. Sebuatan seperti ini rasanya kurang enak
maka akan lebih pas jika disebut saja golongan Nasionalis sekuler
dan golongan Nasionalis muslim.
Dan harus diakui bahwa sebetulnya
semangat nasionalisme ini pertam kali justru muncul dari kalangan muslim (santri).
Dikalangan mereka sudah timbul rasa patriotisme sejak lama yaitu sejak abad ke
XVI (16) sejak kedatangan penjajah.
Ketika itu mereka menganggap bahwa
negari eropa datang ke Indonesia selain untuk mengambil rempah-rempah juga akan
menyebarkan agama nasrani kepada penduduk setempat. Dan kelompok santri
tentunya sangat terusik.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa
kedatangan bangsa eropa yaitu sepanyol,portugis, inggris, dan belanda kenegeri
jajhannya tentu tidak lepas dari tiga motif yaitu: pertama motif
ekonomi dan bentuk eksploitasi kekayaan alm bangsa terjajah, kedua motif
politik dalam rangk melanggengkan kekuasaan dengan politik pecah belah atau
sering disebut politik Devide et impera atau politik belah bambu.dan ketiga motif
agama. Sehingga targetnya pun cukup jelas akan memerangi islam dan mengeruk
kekayaan, sehingga bagi kalangan santri hal ini dianggap sangat berbahaya.
Kedua sistem pendidikan diatas maka
mempengaruhi pola pikir kedua golongan tersebut.sehingga sering terjadi perbedaan
sampai pada saat perumusan dasara negara. Yang termanifestasikan dalam
sidang-sidang BPUPKI.terutama dalam pembahasan dasar negara. Kalangan islam
mengusulkan bahwa negara indonesia yang merdekaharus diletakkan pada diatas
lendasan islam dengan disertai alasan bahwa mayoritas masyarakat indonesia
beragama islam. Diantara yang mengusulkan hal ini adalah seorang tokoh
Muhammadiyah yaitu Kibagus hadikusumo (ketua umum
Muhammadiyah) dalam salah satu pidatonya kibagus dengan penuh keyakinan
mengusulkan bahwa Islam harus dijadikan dasar negara RI.
Dilain pihak golongan nasionalis,
menyatakan bahwa negara indonesia harus diletakkan diatas dasar kebangsaan,
yang oleh supomo dapat dikatakan dapat mengatasi segala golongan dan segala
orang seorang mempersatukan diri dengan lapisan rakyat seluruhnya. Dan merka
berpendapat bahwa antara urusan agama dan urusan negara harus
dipisahkan secara tegas sebagaimana seperti yang diusulkan oleh bung
hatta.
Menanggapi usulan dari golongan
nasionalis tersebut, ki Bgus Hadikusuma menangkisnya dengan telak dengan
mengutif salah satu kata-kata salah seorang anggota anggota BPUPKI yang secara
terang-terangan memperlihatkan ketidak setujuan terhadap usulan negara yang
berdasarkan asas islam. Bahwa dulu ada yang mengatakan agama itu suci dan luhur
dan tinggi sehingga agar tetap suci janganlah agama dicampurnya dengan urusan
negara.
Usulan dasar negara baik yang
berasal adari golongan nasionalis dan golongan islam ini berlangsung dengan
perdebatan panjang sampai tanggal 1 Juni 1945. Namun sayangnya sejarah mengenai
hal ini sekarang sudah mulai hilang dari peredaran sehingga sulit untuk
melacaknya.
Pada tanggal 1 juni 1945
tersebut bung karno menyampaikan pidato yang cukup
panjang sekitar 21 halaman dihadapan sidang badan penyelidik. Dalam pidato yang
kerap ditimpali dengan tepuk tangan tersebut untuk pertama kalinya ia
memperkenalkan apa yang disebut “Pancasila” sekaligus
beliau menyatakan bahwa pancasila ini dapat dijadikan asas kefilsafatan.
2.2
Tokoh-tokoh Nasional Yang Mengusulkan Dasar Negara Indonesia
BPUPKI
mengadakan sidang pertama tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Sidang ini
membicarakan dasar negara Indonesia. Tokoh-tokoh yang mengusulkan
dasar negara diantaranya Mr. Muh Yamin, Prof. Dr.
Soepomo dan Ir. Soekarno.
a.
Mr. Muh Yamin
Dalam pidatonya tanggal 29 Mei
1945 mengusulkan 2 rumusan dasar negara.
1. Secara lisan
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat
2. Secara tertulis
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kebangsaan
persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan yang adil
dan beradab
4. Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5. Keadilan Sosial bagi seluruh
rakyat.
b.
Prof. Dr. Soepomo
Pada sidang tanggal 31 Mei 1945,
mengajukan lima rancangan dasar negara yaitu:
1. Persatuan
2. Kekeluargaan
3. Mufakat dan Demokrasi
4. Musyawarah
5. Keadilan Sosial
c.
Ir. Soekarno
Dalam pidatonya tanggal 1 juni
mengusulkan rumusan dasar negara, yaitu:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau Peri
kemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang berkebudayaan
Ir. Soekarno mengusulkan nama
Pancasila sebagai dasar negara menurut Ir. Soekarno nama Pancasila diperoleh
dari kawan beliau yang merupakan seorang ahli bahasa.
2.3
Perumusan Pancasila
Dalam rangka mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, pada
tanggal 29 April 1945 dibentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Periapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai. Badan
ini diketuai oleh bekas ketua Budi Utomo, yaitu dr. Radjiman Widyodiningrat. Ia
didampingi oleh dua wakil ketua, masing-masing seorang
berkebangsaan Indonesia dan seorang berkebangsaan Jepang.
Badan
ini bertujuan untuk mempelajari dan mempersiapkan hal-hal penting mengenai tata
pemerintahan Indonesia Merdeka.
1) Sidang Pertama BPUPKI
BPUPKI mengadakan sidang pertama
tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Sidang ini membicarakan dasar
negara Indonesia. Tokoh-tokoh yang mengusulkan dasar negara
diantaranya Mr. Muh Yamin, Prof. Dr. Soepomo dan Ir.
Soekarno.
2)
Piagam
jakarta
Sesudah
sidang pertama BPUPKI, berlangsung pertemuan di luar sidang. Pertemuan itu
dilakukan oleh para anggota BPUPKI yang tinggal di Jakarta. Pada tanggal
22 Juni 1945. Pertemuan ini dimaksudkan untuk menjembatani perbedaan antara
golongan nasionalis dan Islam. Dalam pertemuan itu, diupayakan kompromi antara
kedua belah pihak mengenai rumusan dasar negara bagi negara Indonesia.
Pada
kesempatan itu sebuah panitia, yang kemudian dikenal dengan Panitia Sembilan,
dibentuk untuk merumuskan kesepakatan antara kedua belah pihak. Panitia itu
beranggotakan sembilan tokoh nasional yang juga tokoh-tokoh BPUPKI, yaitu
Soekarno, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, Subardja, A.A. Maramis, Abdul Kahar
Muzakar, Wachid Hasyim, Abikusno Tjokrosujoso, dan K.H. Agus Salim.
Setelah
mengadakan pembahasan, panitia ini berhasil menetapkan Rancangan Pembukaan UUD
yang kemudian di kenal dengan nama Piagam Jakarta. Pancasila dalam Piagam
Jakarta dirumuskan demikian:
1. Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syari’at-syari’at Islam bagi pemeluk-pemelukNya.
2. Kemanusiaan
yang adil dan beradab.
3 Persatuan
Indonesia.
4. Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5. Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Sidang Kedua BPUPKI
Ketika BPUPKI mengadakan sidang kedua pada tanggal
10 Juli sampai 17 Juli 1945, Soekarno selaku ketua Panitia Sembilan melaporkan
usul Pembukaan UUD di sidang BPUPKI.
Ketua BPUPKI kemudian membentuk Panitia Perancang
UUD, diketuai oleh Soekarno. Pada tanggal 11 Juli 1945, Panitia membicarakan
rancangan Pembukaan UUD. Lalu ketua membentuk Panitia Kecil beranggotakan 7
orang diketuai oleh Soepomo untuk membentuk rancangan UUD. Hasil kerja Panitia
Kecil dibicarakan pada tanggal 13 Juli 1945 dan diterima oleh Panitia Perancang
UUD.
Pada tanggal 14 Juli 1945 diadakan sidang pleno
BPUPKI membicarakan rancangan Pembukaan UUD dan menerimanya dengan sedikit
perubahan.
Pada tanggal 15 Juli 1945, dibicarakan rancangan UUD.
Setelah Soekarno dan Soepomo memberikan penjelasan umum dan pasal demi pasal,
masing-masing anggota memberikan tanggapan.
Mengenai agama, timbul perdebatan sengit. Akan
tetapi, pada tanggal 16 Juli 1945 UUD diterima dengan bulat. Dengan demikian
tugas BPUPKI selesai dan badan tersebut dibubarkan.
B.
Perumusan Pancasila dalam Peridangan PPKI
Pada tanggal 7 Agustus 1945 dibentuk Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), terdiri atas 21 orang. Tugas PPKI adalah
melaksanakan kemerdekaan Indonesia dan mengambil langkah-langkah yang
perlu untuk membentuk suatu negara. Soekarno ditunjuk sebagai Ketua dan
Muhammad Hatta sebagai Wakil Ketua.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI bersidang dan
mengambil beberapa keputusan penting, yaitu:
1. Mengesahkan
Pembukaan UUD
2. Mengesahkan
UUD
3. Memilih
Presiden dan Wakil Presiden
4. Menetapkan
bahwa untuk sementara waktu Presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional
Diantara kesepakatan mengenai perubahan-perubahan
yang dilakukan, terdapat satu perubahan penting, yaitu mengenai rumusan sila
pertama Piagam Jakarta. Anak kalimat “dengan
kewajiban menjalankan syari’at-syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya” disepakati untuk dihilangkan.
Karena itu sila pertama menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dihilangkannya
anak kalimat tersebut disetujui oleh semua anggota PPKI. Itu dilakukan
berdasarkan pertimbangan bahwa di dalam suatu pernyataan pokok mengenai seluruh
bangsa sebaiknya tidak ditempatkan suatu hal yang hanya mengenai sebagian
rakyat Indonesia, sekalipun
bagian yang terbesar. Pencoretan anak kalimat tersebut adalah untuk menjaga
persatuan bangsa dan keutuhan wilayah Indonesia.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pancasila
adalah pandangan hidup bangsa dan dasar negara Republik Indonesia. Pancasila juga
merupakan sumber kejiwaan masyarakat dan negara Republik Indonesia. Maka
manusia Indonesia menjadikan pengamalan Pancasila sebagai perjuangan utama
dalam kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan kengaraan. Oleh karena itu
pengalamannya harus dimulai dari setiap warga negara Indonesia, setiap
penyelenggara negara yang secara meluas akan berkembang menjadi pengalaman
Pancasila oleh setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik
dipusat maupun di daerah.
3.2 Saran
Berdasarkan
uraian di atas kiranya kita dapat menyadari bahwa Pancasila merupakan falsafah
negara kita republik Indonesia, maka kita harus menjungjung tinggi dan
mengamalkan sila-sila dari Pancasila tersebut dengan setulus hati dan penuh
rasa tanggung jawab.
Daftar Pustaka
http://olahraga.kompasiana.com/bola/2012/07/03/pancasila-renungan-bung-karno-di-bawah-pohon-sukun-di-ende-474225.html (diakses pada tanggal 22 oktober 2013)
http://sosbud.kompasiana.com/2012/12/19/komitmen-terhadap-pancasila-518016.html (diakses pada tanggal 22 oktober 2013)
http://sosbud.kompasiana.com/2011/06/24/menyoal-relevansi-pancasila-dalam-kekinian-375928.html (diakses pada tanggal 22 oktober 2013)
http://info-makalah.blogspot.com/2010/06/makalah-sejarah-pancasila.html (diakses pada tanggal 22 oktober 2013)
http://politik.kompasiana.com/2012/06/29/menuju-konsolidasi-persatuan-indonesia-pancasila-sebagai-akar-jati-diri-bangsa-473460.html (diakses pada tanggal 22 oktober 2013)
Lampiran
Artikel
1
Menyoal Relevansi Pancasila
dalam Kekinian
”Maka demikian pula
jikalau kita mendirikan negara Indonesia merdeka, Paduka tuan ketua, timbullah
pertanyaan: Apakah Weltanschaung kita, untuk mendirikan negara Indonesia
merdeka di atasnya? Apakah nasional sosialisme ? ataukah
historisch-materialisme ?“
Paragraph diatas merupakan penggalan pidato yang disampaikan oleh
Bung Karno pada sidang BPUPKI
pada tanggal 1 juni 1945. Dari sidang BPUPKI ini kemudian dibentuk suatu
panitia kecil yang bertugas untuk merumuskan suatu dasar Negara yang dinamakan
Pancasila dan menjadikan dokumen tersebut (rumusan Pancasila-red) sebagai teks
untuk memproklamasikan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.
Ketika itu sempat terjadi pertentangan diantara para peserta
sidang mengenai penamaan dasar negara ini. Sempat tercetus bahwa dasar Negara
Indonesia dinamakan Panca Dharma. Namun nama tersebut ditolak oleh Bung Karno.
Argumentasi Bung Karno kala itu adalah menyangkut kata dharma. Dharma berarti
kewajiban, sedangkan yang dibahas adalah dasar negara. Sehingga disepakatilah
nama Pancasila yang berarti 5 dasar.
Pada sidang BPUPKI 1 juni 1945, rumusan sila dalam
Pancasila belum seperti Pancasila seperti yang kita ketahui sekarang. Kelima
sila itu secara berutan adalah sebagai berikut: a) Kebangsaan Indonesia; (b)
Internasionalisme atau peri-kemanusiaan; (c) Mufakat atau domokrasi; (d)
Kesejahteraan sosial; (e) KeTuhanan. Baru kemudian pada tanggal 22 juni 1945,
butir-butir Pancasila ditetapkan seperti yang kita kenal sekarang. Rumusan
Pancasila tersebut dicantumkan secara eksplisit dalam piagam yang disebut
sebagai piagam Jakarta yang sekaligus menjadi cikal bakal pembukaan UUD 1945Terlepas dari sejarah perumusan Pancasila diatas, bolehlah sedikit kita menelaah relevansi dan implementasi dari Pancasila itu sendiri. Seperti yang kita tahu, Pancasila pada perjalanannya seolah megalami pengaburan makna. Sebagai grondwet, Pancasila seolah diabaikan. Dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila seolah tak pernah ada. Padahal para pendiri bangsa Indonesia tentunya ingin Negara kita mempunyai arah yang jelas.
Ironis, ketika kita menyoal Pancasila ditengah semarak peringatan hari lahir Pancasila I Juni kemarin. Bahkan para wakil rakyat kita yang terhormat pun masih ada yang tidak hafal Pancasila. Secara akal sehat, bagaimana mungkin para wakil rakyat bisa menjalankan tugasnya di pemerintahan dengan baik jika landasan dari arah kebijakan Negara saja mereka tak hafal? Bagaimana mungkin tujuan Negara bias tercapai jika dasar negaranya saja mereka tidak tahu? Dan dari ketidaktahuan tersebut mungkinkah akan tercipta sebuah pemahaman yang baik akan tujuan didirikannya bangsa ini?
B.J Habibie dalam pidatonya berkenaan dengan perayaan hari lahir Pancasila, menyatakan bahwa selama enam puluh enam tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik, sejak jaman demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, era Orde Baru hingga demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap jaman, Pancasila harus melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah.
Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik
Selama ini Pancasila hanya dipidatokan. Pancasila hanya digunakan sebagai indoktrinasi tanpa diamini oleh sikap kita sehari-hari. Banyak sekali tingkah laku kita yang menyimpang dari nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan.
Indonesia dan Pancasila adalah harga mati. Dalam kondisi seperti apapun, ideologi negara Indonesia adalah Pancasila. Jika kemudian ada seseorang yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lainnya, maka itu berarti ia mengubah Indonesia menjadi negara lain. Pancasila akan selalu relevan dengan kehidupan bangsa Indonesia. Karena bukan Pancasila yang seharusnya mengikuti kehidupan bangsa Indonesia, tetapi bangsa Indonesialah yang harus mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Artikel 2
Menuju Konsolidasi Persatuan
Indonesia: Pancasila Sebagai Akar Jati Diri Bangsa
Bogor, 15 Djuli 1963.
PEMIMPIN BESAR REVOLUSI
BANGSA INDONESiA,
S U K A R NO
Pancasila pada awal dirumuskannya merupakan
hasil dari konsensus bersama para pendiri bangsa Indonesia, yang merupakan
bagian dari begitu banyak bangsa-bangsa bekas jajahan kolonial. Pancasila
dijadikan sebuah ideology perekat bagi pembentukan negara-bangsa yang kemudian kita kenal dengan
Indonesia (tidak ada Indonesia tanpa Pancasila). Tujuan Pancasila pada saat itu
adalah sebagai ide pemersatu dari beragam entitas yang ada. Nilai-yang
terkandung didalam Pancasila, dengan unsur 5 sila yang ada tersebut adalah
nilai-nilai dan cita-cita yang tidak dipaksakan dari luar, melainkan saripati
digali dan diambil dari harta kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakat
Indonesia. Kegagalan orde lama (masa demokrasi terpimpin) dalam merefleksikan
pancasila adalah pada arena pergulatan ideology dunia saat itu
(sosialis/liberal), orde lama lebih cenderung menjadikan pancasila cenderung
kearah sosialis (mengapa NASAKOM jika Pancasila sudah ada?) padahal sebenarnya
Pancasila adalah ideology yang berada diatas ideology-odeologi tersebut. Hal
ini kemudian mengakibatkan Pancasila kehilangan tujuan utama sebagai pemersatu
dan sebagai nilai dasar bangsa.
Pada masa Orde Baru, Pancasila diberikan tafsiran
yang sangat simplistic dan hanya dijadikan sebagai alat kekuasaan serta
justifikasi politik penguasa dan pembangunan ekonomi yang bercirikan kronisme
dan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Pancasila sebenarnya merupakan
ideology yang menekankan pembangunan Human
base centre yang meliputi
factor social, budaya, politik yang bersifat holistic dan komprehensif dan
tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan proses indoktrinasi yang dilakukan oleh
pemerintahan Orde Baru melalui pelaksanaan P4 (Pedoman Penghayatan Dan
Pengamalan Pancasila) yang digunakan hanya sebagai control terhadap masyarakat
untuk mengamankan kekuasaan, berlanjut dengan pelaksanaan asas tunggal pada era
80-an bagi seluruh organisasi politik. Hal ini sangat jauh bertentangan dengan
sifat Pancasila sebagai Ideologi yang terbuka yang bersifat dinamis (tanpa
kehilangan nilai-nilainya) dan menghargai serta melindungi kemajemukan (Bhineka
Tunggal Ika).
Pada era reformasi, pancasila kehilangan ruh
nya dan kehilangan nilai-nilai esensial yang ada didalam pancasila tersebut.
hal ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu pada saat Orde
Baru, dimana Pancasila dijadikan alat kekuasaan oleh rezim yang berkuasa untuk
mengontrol masyrakat dan seluruh aktifitas organisasi politik yang ada. Seperti
yang telah saya sampaikan diatas, bahwa pemahaman yang begitu simplistic
terhadap pancasila, dan menjadikan pancsila sebagai alat untuk mempertahankan
kekuasaan telah menggeser jauh arti dari nilai-nilai pancsila yang terkandung
didalam 5 sila tersebut. Memang harus kita akui bahwa secara psikologis ada
traumatis masyarakat yang diwariskan oleh rezim orde baru dan kontstelasi
politik nasional dengan munculnya proses reformasi serta liberalisasi politik
yang telah mengakibatkan Pancasila semakin tersudut.
Proses perumusan Pancasila yang ditempuh baik melalui
sidang I BPUPKI pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, sidang II BPUPKI
pada tanggal 10 sampai dengan 16 Juli 1945 maupun Panitia Sembilan pada tanggal
22 Juni 1945 yang menghasilkan Piagam Jakarta, merupakan sebuah proses yang
panjang dalam usaha meletakkan dasar dan Ideologi Indonesia. Hasil keputusan
Piagam Jakarta merupakan peristiwa sejarah yang mengilhami berlakunya sila
pertama dari Pancasila saat ini. Perubahan sila I dari ”Ketuhanan dengan
menjalankan syariat bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi ”Ketuhanan Yang
Maha Esa” sebagaimana telah disahkan PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai
Dasar Negara adalah bukti bahwa ada usaha dari para pendiri bangsa untuk
mendirikan suatu negara yang bukan berdasarkan atas agama (Islam) melainkan
sebuah negara yang didiami oleh orang-orang yang beragama.
Atas dasar tersebut maka seharusnya tidak pantas jika ada
usaha-usaha untuk mereduksi nilai-nilai pancasila tersebut dengan ideology yang
bersifat sectarian maupun tindakan-tindakan radikalisme seperti yang muncul
dewasa ini, namun tentu saja kita harus melihat secara obyektif, bahwa hal ini
adalah salah satu tantangan Pancasila yang nyata di hadapan kita. Harus ada
pemahaman secara komprehensif bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila, yakni nilai keTuhanan, nilai Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai
Kerakyatan dan nilai Keadilan adalah cerminan dari karakter dan identitas
bangsa Indonesia yang santun, berbudi luhur dan memiliki semangat kebersamaan
dan patriotisme yang tinggi. Pemahaman yang kurang terhadap pancasila sebagai
karakter dan jati diri bangsa inilah yang kemudian menjadi sumber keterpurukan
baik secara social, ekonomi, budaya dan politik yang ada di Indonesia saat ini.
Korupsi, pelanggaran hukum dan HAM, penyalahgunaan NARKOBA, konflik horizontal
masyarakat, dan bahkan tindakan separatism yang berujung pada usaha-usaha
disintegrasi bangsa (seperti misalnya kasus Aceh, Papua, dll) adalah beberapa
dari begitu banyak masalah kita saat ini.
Sebagai sebuah negara dan merupakan salah satu masyarakat
dunia, Indonesia tidak lepas dari pengaruh munculnya globalisasi dan
perkembangan teknologi serta informasi. Saat ini didalam proses globalisasi
tidak hanya pergerakan barang dan jasa yang semakin meng-global, akan tetapi
juga terjadi pergerakan ideology yang melampaui sekat-sekat negara dan langsung
bisa masuk serta mempengaruhi masyarakat melalui interaksi fisik maupun melalui
media informasi dan komunikasi. Dengan fenomena ini, Pancasila menghadapi
tantangan yang begitu besar, yang tidak hanya datang dari dalam (internal),
akan tetapi tantangan yang begitu besar dari luar (eksternal). Globalisasi modern merupakan hal yang
berkaitan dengan dinamika modernitas dan konsep yang merujuk pada dunia yang
semakin mengecil (Shrinking The World) dan meningkatnya kesadaran
manusia mengenai masalah-masalah dunia secara keseluruhan.
Konsep ini melibatkan masalah perkembangan teknologi komunikasi, kemudahan
transportasi hinga keleluasaan pergerakan barang, jasa, manusia beserta
gagasan-gagasannya ke berbagai penjuru dunia dan dalam jaringan-jaringan
internasional. Dalam
konteks ini, penumbuhan loyalitas
terhadap bangsa dan usaha untuk mengikat masyarakat dalam suatu kerangka
nasional demi untuk mewujudkan nasionalisme masyarakat dengan tujuan
menghindari perpecahan dan disintegrasi nasional menjadi menjadi semakin sulit
untuk dilaksanakan. Hal ini dikarenakan ideology negara, yakni pancasila
semakin kehilangan perannya dan semakin jauh dari masyarkat Indoensia yang
semakin mengglobal baik dalam hal informasi, teknologi, gagasan-gagasan dan
juga bahkan secara ideology. Pancasila semakin kehilangan esensinya sebagai
akar jati diri bangsa yang kesemuanya itu muncul dari dalam, berupa masyrakat
yang semakin jauh dengan nilai-nilai pancasila dan muncul dari luar melalui
proses globalisasi dunia.
MENUJU KONSOLIDASI BANGSA DENGAN INTERNALISASI NILAI-NILAI
PANCASILA
Dalam menjawab tantangan yang begitu besar terhadap bangsa
Indonesia terkait dengan bagaimana persatuan dan kesatuan, nasionalisme
kebangsaan serta loyalitas terhadap bangsa dan negara dapat diwujudkan, adalah
dengan kembali kepada nilai-nilai pancasila melalui proses internalisasi yang
komprehensif dan menghindarkan bentuk-bentuk formalitas yang hanya akan
berujung pada proses indoktrinasi yang negatif dan tidak efektif di masa saat
ini. Pendidikan merupakan jawaban yang paling rasional saat ini didalam
menumbuhkembangkan nilai-nilai pancasila. Konsep pendidikan yang bertujuan pada
proses internalisasi nilai-nilai pancasila bukanlah yang berbentuk formalitas
belaka seperti upacara bendera dengan pengucapan pancasila ataupun sekedar
menempatkan mata pelajaran atau mata kuliah Pancasila. Nilai-nilai pancasila
itu harus di masukkan didalam dunia pendidikan kita dalam rangka pembangunan
karakter bangsa (nation character building), dan kesemua itu harus
diselaraskan antara sekolah, keluarga dan lingkungan masyarakat melalui peran
aktif pemerintah dalam bentuk regulasi serta penguatan civil society yang memiliki agenda serta tujuan yang
sama dalam rangka proses internalisasi pancasila tersebut di dalam masyrakat.
Penguatan Civil Society yang berdasarkan dan memiliki
nilai-nilai Pancasila dewasa ini menjadi sangat penting, karena dapat kita
lihat bagaimana pengaruh yang mereka sangat signifikan didalam masyarakat. Saat
ini, dengan proses globalisasi dan kemajuan informasi dan teknologi, dimana
peran serta asing didalam mempengaruhi karakter suatu bangsa dengan nilai-nilai
dan gagasan-gagasan mereka semakin gencar. Hubungan yang terjadi dengan dunia
luar saat ini sudah tidak lagi melulu melalui Negara, akan tetapi dapat
langsung ke masyarakat dengan perantara civil society. Saat ini dapat kita lihat berapa banyak civil
society yang hanya memperjuangkan nilai-nilai liberalism, kapitalisme,
demokrasi dan mungkin beberapa yang mengarah pada sosialisme ataupun
ideology-ideologi lain. Hal ini tentu saja mempengaruhi dengan sangat
signifikan masyrakat kita. Jadi, seharusnya nilai-nilai Pancasila yang menjadi
focus utama dari civil society kita saat ini bersama dengan pemerintah dalam
rangka internalisasi nilai-nilai Pancasila tersebut
Artikel 3
Menafsir Pancasila (Sejarah
Pancasila 1 Juni 1945)
Menafsir
Pancasila
Besok, 1 Juni 2013, tepat sudah 68 tahun peristiwa Hari Lahirnya
Pancasila. Pada saat itu, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno berpidato tanpa teks (voor de
vuist) yang lamanya kira-kira satu jam untuk menjawab pertanyaan ketua
sidang Dr KRT Radjiman Wedyodiningrat tentang apa dasar Indonesia Merdeka.
Pidato Bung Karno itulah yang kemudian diterima secara aklamasi oleh BPUPKI
sebagai dasar penyusunan falsafah negara Indonesia merdeka.
Menyitir Pidato Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri dalam
acara Peringatan Pidato Lahirnya Pancasila tahun 2011 dikatakan, “Penerimaan
atas pidato 1 Juni 1945 oleh keseluruhan anggota BPUPKI sangat mudah
dimengerti. Hal ini bukan saja karena intisari dari substansi yang dirumuskan
Bung Karno memiliki akar yang kuat dalam sejarah panjang Indonesia, tapi
nilai-nilai yang melekat di dalamnya melewati sekat-sekat subyektivitas dari
sebuah peradaban dan waktu. Oleh karenanya, Pancasila dengan spirit
kelahirannya pada 1 Juni 1945 bukan hanya sekadar konsep ideologis, tetapi
sekaligus menjadi konsep etis”. Oleh karenanya, menjadi suatu hal yang positif
ketika MPR-RI memperingati Hari Lahirnya Pancasila sebagai pesan ideologis
bahwa kita anak bangsa, bukan hanya jangan sekali-kali meninggalkan sejarah,
tetapi turut meluruskan sejarah Pancasila.
Sejak negara Indonesia didirikan tahun 1945 telah ditetapkan bahwa
dasar dan ideologi negara kita adalah Pancasila. Posisi Pancasila sebagai dasar
dan ideologi negara juga ditegaskan saat UUD 1945 diamandemen empat kali.
Meskipun tetap diposisikan sebagai dasar dan ideologi negara namun saat ini
bangsa ini mengalami era defisit implementasi Pancasila. Hal ini bisa kita
lihat dari banyaknya produk undang-undang yang mencantumkan Pancasila
didalamnya tetapi tidak jelas implementasinya.
Contohnya Pasal 2 UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dimana disebutkan “Pancasila adalah sumber dari
segala sumber hukum negara”. Ketua MK 2008-2013, Mahfud MD pernah mengatakan
selama berdirinya MK yakni sejak tahun 2003, ada 460 UU yang di-Judicial
Review, MK mengabulkan 138.
Lihat pula komitmen para kepala daerah dalam Pasal 27 huruf (a) UU
No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi “Kepala daerah dan
wakil kepala daerah mempunyai kewajiban memegang teguh dan mengamalkan
Pancasila…”. Faktanya, banyak kepala daerah yang menafsir Pancasila sebagai
tirani mayoritas terhadap minoritas. Contohnya, kasus-kasus pelanggaran hak-hak
beribadah kaum minoritas. Begitu juga halnya dengan lembaga negara. Semisal
Pasal 77 UU No 39 tentang HAM yang berbunyi “Komnas HAM berasaskan Pancasila”.
Faktanya, para Komisioner Komnas HAM mungkin menafsir sila Keadilan Sosial
sebagai rebutan jabatan dan fasilitas.
Di samping persoalan di atas, terdapat pula asumsi pemahaman yang
berbeda-beda bahkan menggariskan semacam dikotomi atas tafsir otentik
Pancasila. Pancasila 1 Juni masih dianggap sebagai Pancasila-nya Kaum
Nasionalis. Sementara Pancasila 22 Juni diasosiasikan dengan Pancasila-nya
Golongan Islam dan Pancasila 18 Agustus dianggap identik dengan Pancasila milik
Orde Baru. Perbedaan dan dikotomi ini seolah- olah menggambarkan pertentangan
di antara versi-versi Pancasila di atas. Namun, ketika MPR Periode 2009–2014
melalui kesepakatan kolektif dari semua fraksi-fraksi dan Kelompok Anggota
mengeluarkan buku Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, perbedaan dan
dikotomi tersebut dianggap selesai.
Hal ini bisa kita baca dalam bagian proses konseptualisasi
lahirnya Pancasila di mana dalam buku tersebut dikatakan bahwa rumusan dokumen
Pancasila yang pernah ada, baik yang terdapat pada pidato Ir. Soekarno (1 Juni
1945) maupun rumusan Panitia Sembilan yang tertuang pada Piagam Jakarta (22
Juni 1945) merupakan sejarah dalam proses penyusunan dasar negara. Rumusan
tersebut seluruhnya autentik sampai akhirnya disepakati rumusan Pancasila
sebagaimana terdapat pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada
18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dengan
demikian, rangkaian dokumen sejarah Pancasila yang bermula dari 1 Juni 1945, 22
Juni 1945 hingga teks final 18 Agustus 1945 dapat dimaknai sebagai satu tarikan
nafas ataupun kesatuan sejarah proses kelahiran Pancasila.
Rujukan
Lantas bagaimana tafsir kita terhadap nilai-nilai yang terkandung
Pancasila agar
dapat mengimplementasikannya dengan baik? Banyak dokumen sejarah
yang menunjukkan bahwa Pancasila bersumber dari Pidato Bung Karno 1 Juni 1945.
Pidato itu merupakan sesuatu yang resmi dari sudut pandang kenegaraan karena, pertama,Bung Karno adalah
anggota resmi dan peserta sidang BPUPKI yaitu suatu badan yang dibentuk untuk
mempelajari dan menyelidiki hal-hal penting yang berhubungan dengan berbagai
hal yang diperlukan oleh negara Indonesia merdeka. BPUPKI merupakan cikal bakal
lembaga MPR yang ada saat ini.
Kedua, Pidato Bung Karno disampaikan pada masa sidang pertama BPUKI 29
Mei -1 Juni 1945 yang agendanya dikhususkan untuk membicarakan perumusan dasar
negara Indonesia Merdeka. Pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 adalah untuk
menjawab pertanyaan/permintaan Ketua Sidang BPUPKI, Dr. KRT Radjiman
Wedyodiningrat di awal pembukaan sidang, tentang dasar negara Indonesia merdeka.
Ketiga, kalau merujuk pendapat Prof. Mr. Drs. Notonagoro, Guru Besar UGM
pada saat pidato pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada Bung Karno, 19
September 1951 yang mengatakan bahwa pengakuan terhadap Pancasila 1 Juni 1945
bukan terletak pada bentuk formal yang urut-urutan sila-silanya berbeda dengan
Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, pengakuan tersebut justru
terletak dalam asas dan pengertiannya yang tetap sebagai dasar filsafat negara.
Dengan demikian, dalam menafsir dan mengembangkan nilai-nilai
Pancasila dalam konteks kekinian, rujukan kita adalah Pidato Bung Karno 1 Juni
1945. Atas dasar pemikiran itu, Pemerintah melalui Presiden SBY hendaknya
menutup masa jabatannya secara khusnul khotimah dengan meluruskan goresan tinta
sejarah Pancasila dengan menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahirnya
Pancasila dengan sebuah Kepres untuk melengkapi Kepres No.18 tahun 2008 yang
menetapkan tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Hari Konstitusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar